Abah Masri dan Kerajinan Wayang Goleknya

Abah Masri – Di sudut sempit sebuah rumah kayu di pelosok Tasikmalaya, seorang pria renta duduk membungkuk di atas balok kayu. Tangan keriputnya menggenggam pahat dengan cekatan, memahat wajah wayang golek yang belum selesai. Dialah Abah Masri, perajin wayang legendaris yang masih setia menghidupkan seni tradisional dengan napas dan darahnya sendiri. Saat generasi muda sibuk mengejar konten viral dan budaya asing, Abah Masri justru bersetia pada tradisi yang makin dilupakan.

Usianya sudah lebih dari tujuh dekade. Rambut putihnya tak sempat ditata karena terlalu sibuk dengan kayu dan cat. Tapi semangatnya membara. Setiap wayang yang dia buat bukan sekadar boneka—itu adalah simbol perlawanan terhadap kepunahan budaya. Ketika industri garmen dan pabrik-pabrik rakus menelan ruang-ruang kebudayaan, Abah Masri tetap bertahan sebagai penjaga garda terakhir seni wayang kamboja slot.

Membentuk Karakter Lewat Pahatan

Di tangan Abah Masri, sebongkah kayu albasia bisa berubah menjadi tokoh Pandawa atau Kurawa dalam waktu seminggu. Tapi jangan salah, bukan kecepatan yang jadi tujuannya. “Saya ingin wayang itu bicara. Bukan cuma di lihat, tapi di rasakan,” ucapnya dengan suara serak tapi tegas.

Setiap pahatan di wajah wayang menyimpan cerita. Alis melengkung tajam menandakan sifat keras kepala. Mata besar melotot milik raksasa. Bibir mungil dengan senyum tenang milik sang dewi. Abah Masri mengukir bukan dengan teknik semata, tapi juga perasaan. Ia tahu betul bahwa wayang bukan hanya tontonan, tapi tuntunan.

Di bengkel kecil itu, tak ada mesin canggih, hanya pisau, palu, dan pahat yang berumur lebih tua dari cucunya. Tapi hasilnya? Luar biasa. Detailnya memukau. Bahkan kolektor dari luar negeri pernah datang memborong puluhan karyanya. Ironisnya, di negeri sendiri, wayang golek justru sering di anggap barang antik yang tak relevan.

Seni yang Tak Bisa Diwariskan Begitu Saja

Anak-anak muda di kampungnya lebih memilih kerja di kota atau jadi ojek daring. “Mereka bilang bikin wayang itu susah dan nggak ada duitnya,” ujar Abah Masri, getir. Padahal, ia sudah mencoba membuka pelatihan gratis, memberikan ilmunya kepada siapa pun yang tertarik. Tapi yang datang bisa di hitung dengan jari.

Abah Masri sadar, membuat wayang bukan sekadar keahlian tangan, tapi butuh kesabaran, ketekunan, dan rasa cinta pada budaya. “Kalau cuma belajar pahat, banyak sekolah bisa ajarin. Tapi rasa itu yang susah,” katanya sambil menunjukkan sebuah wayang Arjuna yang sedang dia warnai.

Setiap malam Jumat, ia masih rutin menggelar pertunjukan wayang golek kecil-kecilan untuk anak-anak kampung. Tidak ada panggung megah, hanya tikar dan lampu petromaks. Tapi di situ, nilai luhur, cerita-cerita klasik Mahabharata dan Ramayana di sampaikan dengan penuh semangat. Ia menolak melihat wayang golek hanya sebagai hiasan di etalase—baginya, wayang adalah nyawa peradaban.

Karya yang Terancam Menjadi Kenangan

Meski sudah beberapa kali di undang dalam pameran seni dan budaya, baik lokal maupun internasional, Abah Masri tetap merasa was-was. Siapa yang akan melanjutkan ini semua setelah dirinya tiada? Saat di tanya apakah dia punya murid yang benar-benar bisa menggantikannya, ia hanya diam. Sorot matanya meredup.

Karya-karyanya kini lebih banyak di simpan kolektor atau di pajang di museum. Ironis, bukan? Budaya yang dulu hidup dan menyatu dengan rakyat kecil kini terkurung dalam kaca, di jaga pendingin ruangan, jauh dari tangan dan jiwa masyarakatnya sendiri.

Abah Masri adalah pengingat keras bahwa warisan budaya bukan benda mati. Ia hidup selama ada yang menghidupkan. Tapi jika di biarkan, ia bisa lenyap dalam senyap. Wayang golek bukan hanya kerajinan kayu, tapi cermin jiwa bangsa. Dan lewat tangan Abah Masri, cermin itu masih bersinar, walau mulai slot 777.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *