Penjaga Tradisi Wayang – Di sebuah sudut kampung di Jawa Barat, terdapat sosok sepuh yang menolak tunduk pada zaman: Abah Masri. Ia bukan siapa-siapa di mata dunia digital, bukan influencer atau penguasa algoritma. Tapi, di balik tangan kasarnya yang penuh guratan usia, lahirlah wayang golek yang bukan sekadar boneka kayu—melainkan jiwa budaya yang menjerit minta diselamatkan.
Abah Masri adalah satu dari sedikit pengrajin wayang golek yang tersisa. Usianya yang hampir menginjak tujuh dasawarsa tak memudarkan semangatnya untuk terus memahat, melukis, dan menghidupkan karakter-karakter pewayangan yang kini mulai dilupakan. Di bengkel kecilnya yang sempit, penuh serpihan kayu dan bau cat yang menusuk, Abah Masri menolak untuk sekadar menjadi penonton lenyapnya budaya.
Dari Kayu, Tercipta Perlawanan
Setiap wayang yang di buat Abah Masri bukan sekadar karya seni—itu adalah bentuk perlawanan. Ia memahat tokoh-tokoh seperti Gatotkaca, Cepot, dan Arjuna dengan detail luar biasa. Tatapan mata yang tajam, guratan wajah yang dalam situs slot depo 10k, hingga motif batik pada kostum wayangnya—semuanya di rancang dengan penuh cinta dan kepedihan. Kepedihan karena tahu, generasi muda kini lebih mengenal karakter Marvel daripada tokoh pewayangan leluhur mereka sendiri.
Abah Masri tahu bahwa setiap goresan pada wayang adalah bagian dari identitas yang perlahan di kikis. Ia marah—dan dengan marah itulah ia terus berkarya. Membiarkan setiap boneka kayu bersuara lantang melawan lupa.
Panggung yang Sunyi, Warisan yang Terlunta
Ironisnya, karya-karya luar biasa itu lebih sering tampil di panggung sunyi. Pagelaran wayang golek kini menjadi tontonan langka, tersingkir oleh layar-layar ponsel yang lebih di sukai generasi kekinian. Abah Masri tak peduli. Ia terus mengukir. Ia terus melukis. menghidupkan.
Bagi Abah Masri, wayang golek bukan hanya warisan—tapi kewajiban. Ia sadar, mungkin generasi seangkatannya akan punah, dan bersama mereka lenyaplah budaya yang telah hidup ratusan tahun. Tapi selama tangannya masih bisa menggenggam pahat, selama matanya masih bisa membedakan warna, Abah Masri akan terus menciptakan. Meski tak di liput media besar, meski tak viral, ia tetap bertahan.
Satu Orang, Ribuan Cerita
Abah Masri bukan legenda, tapi ia menciptakan legenda. Setiap wayang yang lahir dari tangannya adalah cerita, doa, dan amarah yang di pahat jadi bentuk. Ia bukan sekadar pengrajin—ia pejuang. Di tengah zaman yang menertawakan tradisi, Abah Masri memilih untuk melawannya. Sendirian, dengan kayu, pahat, dan keyakinan bahwa budaya tidak boleh mati hanya karena kita terlalu sibuk menatap layar. Satu orang. Ribuan cerita. Satu Abah Masri. Ribuan warisan yang berteriak agar tidak di lupakan.